Anak Kecil yang Sok Jadi Pahlawan Keluarga

Bagikan Keteman :


Anak Kecil yang Sok Jadi Pahlawan Keluarga

Ada masa dalam hidupku, saat usia masih belia, belum genap remaja, namun jiwaku seolah sudah dipanggil untuk menjadi pelindung — pahlawan kecil bagi keluargaku.

Aku anak sulung dari enam bersaudara. Dan mungkin karena itulah, nurani ini lebih dulu terketuk untuk ikut menanggung beban hidup orang tuaku. Sejak duduk di bangku SMP, aku tak lagi seperti anak-anak pada umumnya. Aku tak punya banyak waktu untuk sekadar bermain atau bermalas-malasan. Hidup memanggilku lebih cepat. Aku memilih menjawabnya.

Setiap hari, aku membantu ibu dan ayah sebisaku. Bertani di sawah, memelihara dua ekor kambing, mencari kayu bakar di kebun, hingga mengayuh sepeda angin tua menuju Bengawan Solo demi membawa pulang air minum — dua jerigen 10 kilogram jadi beban di kiri-kanan sepeda. Bolak-balik sampai cukup. Kadang juga menuruni jalanan desa Brayo, mengantar satu sak gabah ke tempat selepan, sejauh dua kilometer lebih.

Jika musim ikan tiba, aku jadi pemburu kecil: menelusuri tambak orang yang dikuras airnya untuk mencari ikan buri. Atau menyusuri irigasi sawah dengan berbagai cara: rogo, njolo, nyusul, nyenkap, masang jegok, jengglongan, dan wuwu — semua metode tradisional yang kutahu demi mendapatkan hasil sekadar lauk makan di rumah.

Tapi yang paling tidak biasa dariku kala itu, aku hampir tidak pernah tidur di rumah. Setiap malam, aku menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya di musholla atau masjid desa. Menjelang subuh, baru aku pulang. Saat Ramadhan tiba, kami menjadi pasukan kecil yang memukul alat seadanya, membangunkan warga untuk sahur — patrol itu namanya.

Dan suatu malam, aku mengalami fase yang sampai sekarang terasa begitu dalam: renovasi rumah orang tuaku.

Rumah kami hendak ditinggikan pondasinya. Hampir satu meter dalamnya, 5 meter lebarnya, dan 25 meter panjangnya. Kami butuh tanah. Maka bersama ayah dan pamanku, Pak Juwari, kami “nggledek lemah” — menarik gerobak berisi tanah dari sawah, lalu menuangkannya ke rumah malam demi malam, tanpa mesin, tanpa suara riuh, hanya dengan niat dan tenaga.

Setelah selesai, tubuhku seakan protes. Kaki kiriku terkena cantengan parah. Seluruh telapak dan jari kakiku membengkak, bernanah. Sakitnya luar biasa. Berhari-hari aku tak bisa tidur. Bahkan kadang aku terpaksa tidur sambil berdiri, karena tak kuat menyentuhkan kaki ke kasur. Tapi aku anggap ini sebagai hadiah kenang-kenangan dari perjuangan.

Saat itu, adik-adikku masih kecil. Mereka belum paham arti pengorbanan. Mereka belum mengerti bagaimana rumah itu bisa berdiri — dengan peluh, luka, dan sakit dari orang tua serta kakaknya. Mereka tinggal menikmati hasilnya.

Maka bagiku, sangatlah wajar jika suatu hari mereka dituntut untuk takdzim, menghormati dan menghargai ayah, ibu, dan kakaknya ini. Karena di balik kenyamanan yang kini mereka rasakan, ada darah perjuangan yang pernah tertetes. Jika seseorang tumbuh tanpa rasa terima kasih, maka jangan salahkan Tuhan jika Ia pun enggan menaruh kasih-Nya pada manusia semacam itu.

Aku mungkin hanya anak kecil waktu itu. Tapi jiwaku telah berjuang sekuat pahlawan. Pahlawan kecil di tengah keluarga, yang diam-diam berusaha agar keluarganya bisa hidup lebih baik.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment